Minggu, 31 Mei 2009

Hilangnya Kicau Burung di Kampungku

http://www.kicauburung.com/wp-content/uploads/2008/08/sg_bg_200807_5149.jpg

Sebuah catatan kecil sehabis jogging

Sabtu pagi biasanya aku isi dengan jogging di track yang ada di kampus Wageningen University tempatku belajar saat ini. Ini memang olah raga paling murah dan mudah, tidak perlu bayar dan tidak tergantung tim atau partner. Tapi yang mengasyikkan acara jogging di Wageningen, terutama di musim semi seperti sekarang ini, hampir selalu ditemani kicau dan kelepak burung-burung. Begitu juga dengan Sabtu ini, kicau burung sudah mulai terdengar ramai, bahkan sejak aku bangun subuh tadi. Ini mengingatkan kembali pada masa kecilku di sebuah kampung di pinggiran Kabupaten Bogor, waktu itu kicau burung masih selalu ramai menyambut pagi. Sayangnya tidak demikian keadaannya saat ini. Entah karena habis ditangkapi, atau karena pohon-pohon tempat mereka bertengger sudah jarang ditemui. Serta-merta acara lari pagi ini jadi pula ajang monolog tentang kehidupan burung-burung liar.

Aku bertanya pada diri sendiri, kapan bisa kembali menikmati kicau burung di kampungku seperti disini. Apakah harus menunggu sampai tercapai kemakmuran sedemikian rupa sehingga rakyat kita bisa lebih peduli pada lingkungan, termasuk kelestarian spesies burung?

Wageningen dan Belanda secara umum memang tempat yang sangat bersahabat bagi para burung. Tidak berlebihan kiranya kalau pemerintah kota ini dengan bangga memasang papan identitas kota ini sebagai ’the city of life sciences’, karena disamping mempunyai universitas dengan kajian agrikultur terbesar di Belanda, kota ini juga berkesan teduh dan rindang. Pepohonan tempat burung-burung bersarang selalu bisa ditemui di sela-sela bangunan-bangunan kota. Selama tinggal disini tidak pernah pula terlihat penduduk memejarakan burung dan sepertinya mereka tidak juga berminat dengan daging burung liar. Ini sangat berbeda dengan keadaan di kampung kelahiranku dan sepertinya begitu pula keadaannya di kampung-kampung lain di Pulau Jawa, dimana seolah-olah tidak ada tempat yang aman dan nyaman untuk burung liar. Kalau tidak ditangkap untuk dimakan mereka ditangkap untuk dipajang di halaman rumah. Memang tingkat kemakmuran jauh berbeda, tetapi apakah hanya itu masalahnya….?

Di kampungku sepertinya burung adalah spesies hewan yang paling banyak bersalah. Kalau tidak karena bentuk dan warnanya yang indah, mereka juga dipenjarakan karena suaranya yang merdu. Sungguh malang memang nasib mereka. Tepat sekali lirik sebuah lagu melayu lama semasa SD dulu yang tiba-tiba saja mengalun di pikiranku….
Wahai kau burung dalam sangkar
Sungguh nasibmu malang benar
Tak seorangpun ambil tahu
Luka dan lara dihatimu……

Matahari sudah sedikit meninggi, burung-burung walanda masih setia menemani jogging-ku. Dari suaranya aku mengidentifikasi paling tidak ada tiga atau empat jenis burung yang terdengar suaranya. Belum lagi ditambah beberapa jenis burung yang tidak doyan berkicau, seperti burung dara dan sejenis jalak hitam berparuh jingga yang dari tadi asyik berjemur di pinggir lapangan. Pikiran liarku sekarang tertuju pada saudara-saudaraku di tanah air yang katanya pecinta burung tetapi memenjarakan burung liar untuk kepuasan diri sendiri. Secara tak sadar sebenarnya mereka salah satu agen kepunahan burung di alam bebas. Memang ada sih beberapa jenis burung peliharaan hasil penangkaran, tapi selebihnya dari mana lagi kalau bukan dari hasil tangkapan. Mungkin di satu sisi mereka memberi makan yang cukup dan pemeliharaan ekstra, tentu saja agar si burung tetap tampil prima. Tetapi apakah mereka memikirkan hak burung-burung itu untuk bertemu soul-mate-nya, untuk berkembang biak..? Sementara kemampuan berkembang biak inilah kunci kelangsungan suatu spesies makhluk hidup.

Sepertinya kicau burung bisa juga mempengaruhi performance-ku hari ini, sudah bisa melampaui target yang minimal lima putaran. Mungkin saat ini kita perlu gerakan membebaskan burung disamping gerakan menanam pohon. Aku jadi teringat suatu saat pernah membaca artikel di oaseislam.com tentang bagaimana Khalifah Umar bin Khattab membeli burung yang digenggam seorang anak dan kemudian dengan gembira membebaskan burung tersebut seraya bergumam: ”Dengan menyebut asma Allah Yang Maha Penyayang, engkau burung kecil, terbanglah… terbanglah…”.

Burung-burung masih belum bosan-bosannya berkicau. Sambil berjalan untuk kembali ke kamar kost, aku berkhayal, kapan bisa kembali menikmati kicau burung dikampung halamanku…. Mungkin suatu saat nanti, ketika kemakmuran sudah bisa dinikmati semua kalangan, ketika moral dan etika lingkungan menjadi mindset, ketika masyarakat kita bisa mencontoh keteladanan Umar r.a….

Sumber: hidayat.wordpress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar